Kampus Keperawatan Terbaik di Era Corona




Saya masih ingat sebelum kuliah. Masuk universitas negeri, adalah kebanggan tertentu. Tempat kumpulnya beberapa anak pandai, kuliah tambah murah, disiplin, lulus jadi petinggi atau orang populer. Rerata senior yang duduk di DPR/MPR, menempati tempat Menteri Negera, Kepala BUMN serta kantor-kantor penting yang lain ialah lulusan universitas negeri.

Bersamaan dengan perjalanan waktu, berlangsung perubahan nilai universitas negeri serta swasta. Jadi orang sukses tidak harus dikampus populer atau menjadi juara dengan IP Cum Laude. Saya turuti perubahan dunia kekinian dengan lihat aksi beberapa orang yang sukses seperti Jack Ma, Gabe Newell, Jack Dorsey, Sean Parker, Steven Speilberg, Ralf Lauren, Michael Dell, Mark Zuckerberg, Bill Gates, ialah deretanan beberapa orang yang kuliahnya tidak tamat (Perhatikan.com). 

Orang paling kaya di dunia 32 tidak lulus kuliahnya (Inews. 2019). Sekitar 20 orang miliarder dunia adalah pelaku bisnis sukses (Tempo, 2019). Serta lima orang paling kaya di dunia rupanya tidak lulus SMA (merdeka.com., 2019).

Dari sana saya selanjutnya berpikir, jika ada yang keliru dengan sudut pandang kita. Jika demikian, jika cuma cari uang arah hidup ini, tak perlu kuliah. Yang paling akhir saya ucap ini, saya tidak mau. Bagaimana juga, Nabi Muhammad Rasulullah SAW menasihatkan, jika cari pengetahuan itu harus buat tiap muslim (HR-Imam Al Baihaqi). Karena itu, saya kuliah.

Saya kuliah dalam suatu universitas swasta di Banda Aceh. Jujur saja, pilihan pertama dahulu masuk universitas negeri, tetapi tidak diterima. Awalannya menyesal. Semakin lama biasa. Kami telah terlatih untuk ambil makna dari tiap insiden. Yang perlu belajar rajin, disiplin kuliah. 

Masalah hari esok, saya percaya tidak mengkhianati usaha keras. Kuliah jalan terus, Alhamdulillah lancar. Saya dapat menggondol predikat alumnus paling baik. Alhamdulillah.

Setelah wisuda, saya lihat kesusahan hidup semakin lebih kompleks dibanding kuliah. Terkadang saya diberi pertanyaan alumnus apa, universitas mana serta dimana aslinya. Itu jika interviu sama orang Indonesia. Tetapi saat berkawan sama orang asing, Belanda, Jerman, Kuwait, Arab Saudi, India serta Jepang, saya belum pernah diberi pertanyaan alumnus apa serta dari universitas mana. 

Itu berarti, nama universitas sebenarnya bukan jadi alasan penting dalam pertemanan dunia. Meskipun ada yang disebutkan dengan the Best University in the World menurut beberapa versus. 

Kampus Indonesia menempati rangking ke-57, Airlangga ke-199, Padjadjaran ke-255, Brawijaya di atas posisi ke-301(Top Universities.com, 2019). Kriterianya meliputi: academic reputation, employer reputation, faculty/student ratio, citation per faculty, international faculty ratio serta international student ratio (Teratas University Rangking, 2021). 

Perkembangan Taruhan Bola Online Semakin Pesat

Pada tingkat ASEAN dari 15 kampus paling baik, Kampus Indonesia ada di posisi ke-9, UGM ke-12, serta ITB ke-13 (seasia, 2019). Posisi pertama tingkat ASEAN ialah Nanyang Technological University (Singapore), serta yang kedua Singapore, National University. Tempat ke 4,5,6,7 digondol oleh Malaysia. Posisi ke-8 punya Thailand, Chulalongkorn.

Bagaimana dengan universitas keperawatan di masa epidemic Corona sekarang ini, dimana semua hampir dilaksanakan online?

Kita semua paham, di masa New Normal ini, prosedurnya mencakup: bersihkan tangan, pakai masker, menjaga jarak serta jauhi keramaian. Semua persyaratan yang disebutkan dalam the Best Campus on Earth tidak berlaku. Gedung, berapa megahpun tidak disinggung. Professor, berapa pintarpun pun tidak disebutkan. Alat, berapa hebat juga tidak juga. 

Pokoknya, semua bentuk perkuliahan bertemu muka langsung, stop. Semua harus online. Yang perlu ada HP, internet dan pulsa.

Laboratorium hebat tidak berlaku. Perspustakaan komplet pun tidak dipakai. Buku-buku tidak disentuh. Semua serba online. Daftar lagi, kuliah, ujian tengah semester, ujian akhir, training sampai wisuda, semua online. Jadi, apakah yang dibanggakan dengan nama besar universitas?

Apa universitas yang mahasiswanya terbanyak bersihkan tangan ialah yang paling baik? Apakah yang koleksi maskernya paling banyak yang the best? Apakah yang menjaga jaraknya paling jauh? Atau yang sedikitnya masalah Corona nya?

Saya sempat mengenal dengan seorang perawat alumnus Akper Semarang, yang sekarang ini sukses di Texas Amerika Serikat. Sekarang mas Bijak namanya, sedang mengambil S2, telah lebih dari pada 15 tahun di USA. Ada lagi mas Zaenal di Belanda yang cuma lulus SPK dari Jawa Barat. Ada bang Asep alumnus Akper Tasikmalaya jadi senior staff di Qatar Petroleum. 

Ada pula pak Nurhadi untuk Lead Nurse Qatar Petroleum yang lulusan Akper Muhammadiyah Semarang. Ada pak Sugy asal Palu yang cuma Akper tetapi tetap kuliah di Middle East University di Kuwait. Ada lagi Mas Dharmawan alumnus Poltekkes Malang. 

Semua yang saya ucap di atas ialah perawat-perawat sukses yang kuliah di universitas biasa saja, tidak dari universitas besar sekelas Kampus Indonesia.

Ini adalah bukti jika kesuksesan seorang semakin tergantung pada perjuangan individu. Bukan nama universitas. Meskipun memang, ada beberapa orang yang mujur seperti Anies Baswedan yang turunan orang kaya, pandai serta punyai impak juga. He is very lucky person. Demikian juga Sandiaga Uno. He is also one of the luckiest persons in Indonesia.

Pada konsepnya, saya semakin yakin pada ketertarikan, tekad serta usaha keras. Forget about the best universitas. Ingin alumnus universitas keperawatan mana saja bisa. Asal rajin belajar serta usaha keras, insyaallah harapan sedang menanti. Tak perlu begitu panjang antreannya. 

Ingin kuliah di Jakarta atau Papua, Aceh atau Atambua, sama juga. Di masa online ini, semua mahasiswa dituntut rajin belajar mandiri, pakai handphone untuk kenaikan kualitas karier. Tidak untuk main Game selama seharian.

Diberdayakan oleh Blogger.